Sore tadi, saya ditelepon mamak dari Pacitan. Canda tawa, tanya kabar, bahas makanan itu bahasan yang biasa, dan kali ini pun tetap dibicarakan jua. Tapi ada bahasan baru untuk telepon kali ini. Biar tak terkesan kolot dan membuktikan sebagai generasi dan keluarga yang up to date, maka bahasan pemilu lah yang kami angkat dalam telepon malam ini. Tapi ada yang aneh, sebab bukan bahas siapa yang dipilih atau partai apa yang unggul di sana melainkan bercerita perihal ulah pak Dudung *nama samaran* yang (katanya) perangkat atau
pejabat kampung tapi tak jelas juga posisi dalam bagan kepejabatan kampung terletak di posisi mana, bahkan masa jabatannya pun tak jelas juga karena sepertinya sudah puluhan tahun si bapak ini menjabat jabatan tak jelas ini. Kalau di Surabaya saya mengetahui ada tatanan masyarakat paling rendah itu RT, kemudian RW, naik lagi ada kelurahan yang setingkat desa. Tapi kalau di kampung saya di Pacitan sana ada RT, RW, Dusun dan Desa. Untuk RT dipimpin ketua RT beliau menjabat atas mandat masyarakat dengan diadakannya pilihan ketua RT. Demikian juga dengan Kasun (kepala dusun) dan Kades (Kepala desa) semuanya menjabat atas pilihan masyarakat. Nah untuk ketua RW ini yang menjadi tanda tanya. Sepertinya dulu belum ada pilihan RW. Karena secara struktural RW di kota itu sama tingkatnya dengan Dusun di kampung saya. Nah, kalau di kampung saya ada RW dan ada dusun, berarti ada ketua RW dan ketua dusun dengan jabatan yang hampir sama pula kan? Dan pak Dudung inilah menjabat sebagai ketua RW di kampung saya. Saya lupa beliau jadi ketua RW dulu dipilih warga atau dipilih dirinya sendiri.
Lho, lantas apa hubungannya pak Dudung dengan pemilu hari ini? Apa pak Dudung mencalonkan sebagai caleg? Jelas tidak, popularitasnya masih sebatas dusun dan sekitarnya. Apakah pak Dudung terlibat politik uang? Ah, saya tak ambil pusing akan hal itu, karena politik uang bagi orang-orang tertentu bisa dijadikan penghasilan jua. Terus apa? Adalah cara pak Dudung dalam memerankanjabatannya yang menjadi bahasan saya dengan mamak. Kali ini Pak Dudung menjadi salah satu petugas di TPS kampung kami. Jabatannya di TPS apa saya juga tak ambil pusing, karena kalau ada acara-acara yang seperti ini pak Dudung selalu saja di garda terdepan, beda dengan mayoritas warga kampung kami yang pilih cari uang dengan menekuni profesinya sebagai nelayan.
Berawal masalah antrian untuk memilih. Seperti lazimnya pemilihan umum yang lampau, adikku meletakkan surat undangan memilih sebagai bukti antrian dan kalau sudah waktunya pasti akan dipanggil berdasarkan siapa yang lebih dulu menumpuk surat itu
di meja. Pak Dudung adalah yang duduk di meja tempat menumpuk surat itu
dan pak Dudunglah yang bertugas sebagai pemanggil para pemilih yang
sedang antri.Adikku duduk takzim pada kursi yang telah disediakan
panitia TPS, yang tentunya dari sekian panitia tak seorangpun dari
keluarga saya yang terlibat, karena lagi-lagi ada keterlibatan pak
Dudung yang dalam memilih panitia. Adikku menunggu lumayan lama, bahkan
setelahnya meletakkan surat antrian ada beberapa pemilih yang datangnya
belakangan tapi oleh pak Dudung dipanggil lebih dulu. Awalnya adikku tak
ambil pusing, dengan berbagai pertimbangan dalam batin untuk
memakluminya. Salah satunya adalah orang yang dipanggil lebih dulu oleh
pak Dudung adalah ibu muda yang punya anak masih bayi, mungkin kalau
terlalu lama antri anaknya akan rewel. Lagi pula ibu muda itu
adalah anak dari pak Kasun, si kepala dusun. Dalam sabar di benak adikku
ada tanda tanya besar karena ternyata setelah ibu muda itu yang nyalip
antrian, ada beberapa orang lagi yang menyusul. Lagi-lagi ini peran dari
pak Dudung yang berulah. Hingga tiba saatnya ketidak wajaran ini
ditanyakan adikku kepada salah satu panitia TPS, tapi dijawabnya dengan
enteng katanya masalah panggil memanggil antrian adalah otoritas pak
Dudung. Duh, pak Dudung Rek. Akhirnya adikku dengan kesal
menghampiri pak Dudung dengan protes yang dikeluarkan. Di antaranya
adalah penyitaan waktu, diabaikannya niat baik adikku yang tidak golput,
dan pastinya memang selain *mungkin* ada rasa tidak suka pak Dudung
pada keluarga kami. Dengan senyum yang misterius akhirnya pak Dudung
memersilakan adikku untuk melakukan pencoblosan.
Aneh memang kalau
ditelaah ulah pak Dudung ini yang *katanya* mengaku ketua RW ini. Kalau
RW adalah tetua kampung, seharusnya kan kasih contoh yang bijak. Saya
jadi teringat bulan Juli tahun 2012 silam, tepatnya ketika saya yang di
Surabaya mendapat undangan untuk foto keperluan E-KTP. Waktu itu dalam
keadaan anak saya yang berusia belum genap setahun dan keadaannya yang
kurang sehat saya putuskan untuk berangkat ke Pacitan karena esok
harinya saya harus foto E-KTP. Ketika waktunya foto tiba, antrian
panjang tak terelakkan. Waktu itu pak Dudung yang sebagai ketua RW tak
punya kuasa apa-apa sebab di tempat foto itu antara saya dengan dia
sama-sama penunggu giliran antrian foto. Tiba-tiba pak Dudung mendatangi
meja tempat menumpuk surat undangan foto. Nah, kok tiba-tiba dia
merubah tumpukan surat itu dengan dalih agar dia terpanggil lebih dulu.
Banyak orang yang ada di situ waktu itu dalam keadaan gerah menunggu
antrian. Tapi aneh tak ada sedikit pun dari mereka protes atas ulah pak
Dudung (sungkan kali ya karena pak Dudung *katanya* aparat kampung).
Tapi saya tidak begitu. Saya geram melihat ulah itu. Saya datangi
petugas pemanggil atrian, dan saya tanya apakah diperbolehkan
membolak-balik antrian? Jawabnya tidak. Kontan saja saya menunjuk ke
arah pak Dudung yang tengah melakukan itu. Dan, spontan pak Dudung
menggerutu dengan peringai yang mirip tokoh wayang Sengkuni, sambil
membetulkan surat antrian dengan tidak betul. Sebab dia membetulkannya
tak seperti semula.
Sebuah pesan untuk pak Dudung. Bapak katanya
mengaku aparat kampung?(saya tidak tahu apakah semua warga mengakuinya).
Tolonglah bersikap bijak dan adil pada warganya. Kalau Bapak mengklaim
masa jabatan Bapak itu seumur hidup, ya tolong dijaga dengan baik.
Apalagi jabatan itu bapak gunakan sebagai satu-satunya mata pencaharian?
Bisa jadi bumerang Pak.
Salam hormat untuk ketua RW, tapi bukan pak Dudung. []E.A.T.
Related Post
- Psikologi Pembelajaran untuk Generasi Z: Pendekatan yang Relevan di Era Digital
- Memaknai Keberadaan dan Upaya Menyematkan Kebermanfaatan
- Meninggalkan Kenyamanan?
- Tabur Bunga di Sosial Media
- Kritisi dengan Solusi
- Semua Akan Seimbang Pada Waktunya
- Tabur Tuai
- Jangan Mati di Kawah Candradimuka
- Ketika Komunikasi (mulai) Kesemutan
- Mengubur Mimpi Tunas-tunas yang Telah Disemai
- Seberapa Kuat Si Tuman?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar