Jumat, 12 Februari 2016

Ketika Komunikasi (mulai) Kesemutan

     
 Menjalani kodratnya sebagai makhluk sosial, tentu ada hal yang sifatnya mendasar yang dilakukan manusia dalam membuktikan status tersebut. Salah satunya adalah komunikasi. Dengan komunikasilah, manusia bisa berinteraksi dengan sesamanya. Komunikasi merupakan sebuah proses penyampaian pesan atau informasi dari seseorang kepada orang lain.
  Sebagaimana sebuah pendapat, bahwa “Komunikasi merupakan setiap proses pertukaran informasi, gagasan, dan perasaan” (Hybels & Weafer II dalam Liliweri, 2002:3). Jika ditelaah lebih dalam, dalam ilmu komunikasi sendiri terdapat konsep-konsep dasar dan prinsip-prinsip mengenai komunikasi itu sendiri. Tapi pada kesempatan ini, kita tidak akan membahas terkait dengan hal tersebut. Rasanya itu akan kita ulas dengan bobot yang lebih berat pada lain kesempatan.
     Dewasa ini, dalam berkomunikasi, manusia benar-benar menjadi subjek yang dimanjakan. Karena teknologi sebagai media dalam berkomunikasi baik satu arah maupun dua arah kini telah berkembang pesat. Oleh sebab itu, maka kenyamanan dalam berkomunikasi tentunya juga harus bisa ditunjang. Akan tetapi kenyamanan dalam komunikasi tentu tidak hanya ditentukan oleh media saja, melainkan perilaku dari pelaku komunikasi tersebut. Dalam hal ini biasa disebut dengan komunikan dan komunikator. Nah, pada kesempatan kali ini, saya tergelitik untuk mengulas masalah perilaku komunikasi ini.
    Banyak orang yang telah menginspirasi saya untuk menulis  perihal komunikasi ini. Mungkin salah satu orang yang menginspirasi saya, adalah saya sendiri. Dalam berkomunikasi, sungguh perihal masalah etika, adab dan perasaan benar-benar wajib dimainkan. Setelah dimainkan, maka dinamika komunikasi akan tercipta. Sungguh, bahwa komunikasi yang dinamis itu akan lebih efektif dan lebih berwarna serta akan menghasilkan solusi yang lebih jika dibandingkan dengan komunikasi yang statis. Akan tetapi atas kemunculan sebuah dinamika komunikasi, tidak sedikit dari pelaku komunikasi yang tidak mendapatkan informasi maupun solusi. Bahkan konflik yang berlarutpun bisa muncul di sini. Apa penyebab akan hal tersebut? Seharusnya bagaimana?
    Informasi akan diterima dengan baik jika disampaikan dengan baik pula oleh komunikator kepada komunikan. Demikian juga sebaliknya, informasi akan memiliki arti atau makna sesuai apa yang diterjemahkan oleh penerima informasi atau komunikan. Informasi yang baik, yang disampaikan dengan baik pula, belum tentu menjadi hal yang baik jika yang menerima informasi tersenbut beda dalam menerjemahkannya. Apa penyebab dari kesalahan dalam penerjemahan tersebut? Banyak faktor yang menyebabkan itu. Salah satunya adalah terkait dengan pandangan komunikan terhadap komunikator. Kalau faktor ini sudah berpengaruh dalam komunikasi, maka apapun informasinya bisa jadi semua beda terjemahannya. Semisal, seseorang akan menyampaikan informasi kepada orang lain yang sebelumnya telah terjadi konflik di antara keduanya, maka cara penyampaiaanya akan lebih sulit jika dibandingkan dengan  penyampaian informasi antar orang yang punya ikatan batin positif. Ini adalah sifat manusiawi dari masing-masing pelaku komunikasi dengan rasa ego yang melekat pada dirinya. Ya, sebab setiap manusia diberkahi dengan rasa ego dengan kadar yang berbeda-beda.
     Jika kita mau mencoba mencatat, atau sekedar mengingat berapa kali kita melakukan komunikasi dalam satu hari saja? Baik itu komunikasi secara langsung, tidak langsung, satu arah maupun dua arah. Dari setiap komunikasi adakah suasana atau kondisi komunikasi yang sama? Jelas tidak. Masing-masing memiliki suasana dan rasa yang berbeda-beda. Masing-masing memiliki kondisi dan pengondisian yang berbeda-beda pula. Ya, pengondisian itu sendiri yang akan menentukan output atau hasil dari komunikasi itu sendiri. Pengondisian tentang bagaimana kita menyikapi lawan komunikasi. Mulai dari perasaannya saat itu, kondisi emosinya, hingga latar belakang lingkungan lawan komunikasi. Tentunya meskipun dengan kemampuan kita dalam memahami lawan komunikasi, belum tentu serta merta lawan komunikasi kita bisa melakukan hal yang sama seperti yang kita lakukan. Nah, kalau sudah seperti ini maka level pemahaman dan kesabaran pada diri kita perlu kita tingkatkan.
     Saat ini saya sedang menganalogikan komunikasi layaknya aliran darah pada diri kita. Kalau aliran darah itu lancar, tentu kesehatan dan kenyamanan bisa kita rasakan. Tapi kalau tidak lancar bagaimana? Misal kaki kita yang terlalu lama kita tekuk ketika duduk, aliran darah tidak lancar, maka kesemutan melanda. Kalau sudah kesemutan kena sentuh sedikit saja rasanya sangat tidak nyaman. Hal yang mudah kita lakukan untuk menghilangkan rasa tidak nyaman saat kesemutan tersebut adalah dengan membuat aliran darah pada bagian yang kesemutan tersebut agar lancar. Salah satunya jika terjadi pada kaki, maka kita meluruskan kaki kita yang semula kita tekuk, atau merubah posisi kaki saat duduk. Demikian halnya juga dengan komunikasi, agar efektif dan diperoleh hasil yang positif maka perlu adanya pelurusan-pelurusan dengan saling memahami antara komunikan dan komunikator. Meskipun hal itu tentu membutuhkan waktu yang tidak sebentar dalam melakukannya. Sebab komunikasi yang baik itu tidak harus mendapatkan output dalam waktu yang singkat. Dan dalam rentang waktu ternjadinya komunikasi tersebut tentu kita bisa memetik pelajaran di sana.

E.A.T., Surabaya, 9 Januari 2015

Related Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar