Sabtu, 08 Oktober 2022

Tabur Bunga di Sosial Media

Oleh: Eko Agus Triswanto

Sedari kemarin hendak menulis ini, namun belum berani. Entah takut salah, masih belum percaya, atau trauma, toh nyatanya alam sendiri juga menampakkan rautnya dengan ekspresi kemurungan. Pasca tragedi kanjuruan pada tanggal 1 Oktober 2022 kemarin, tetiba mendung, hujan, dan kabut silih berganti datang seakan mengabarkan, bahwa dunia sedang berduka. 

Iya, dunia. Ini tragedi dunia. Bukan hanya Indonesia, apa lagi Malang. Sekali lagi ini adalah

duka dunia. Ucapan belasungkawa datang dari mana-mana. Klub, pemain, federasi dan seluruh stakeholder sepak bola dalam dan luar negeri dengan sepenuh hati mengirimkan ucapan belasungkawa. Bahkan dari para suporter yang sebelumnya berposisi sebagai rival sekalipun tak ada rasa enggan turut meneteskan air mata. Dunia benar-benar berduka, Indonesia kembali menjadi perhatian, gegara sepak bola.

Benarkah duka ini semata gara-gara sepak bola? Bukankan dari sepak bola jutaan umat mengais rejekinya? Bukankah dari sepak bola asa-asa tersemaikan? Bukankah dengan sepak bola kemanusiaan terperhatikan? Bukankan dengan sepak bola akan tercipta kemaslahatan? Toh nyatanya ini terjadi, bahwa usai pertandingan sepak bola bergengsi antara Arema FC versus Persebaya, ada lebih dari 130 nyawa meninggalkan raganya yang terinjak-injak, berdesak, benafas sesak, tergeletak. 

Pada tulisan ini, sama sekali saya tidak ingi mengambinghitamkan siapapun, apalagi menyalahkan sepak bola. Sebab, saya sendiri sedari kecil adalah penikmat sepak bola. Namun tragedi ini terjadi dan menimpa sepak bola. Saya menganngap salah sattu pemyebab kejadian ini adalah sebuah dampak dari luapan emosi dari hati para suporter fanatik, yang selama ini dari waktu ke waktu dari hari kehari bahkan selama puluhan tahun yang selalu di pupuk dengan semangat rivalitas yang cenderung penuh dengan tebaran kebencian. Bagaimana tidak? Perkembangan teknologi informasi yang begitu masif, kini seakan memberikan panggung untuk saling mengejek, menghujat, menebarkan propaganda yang sangat terbuka. 

Bukan pula hendak menyalahkan keberadaan sosial media, namun lebih pada mencermati tentang fakta yang terjadi pada sosial media tentang pembahasan rivalitas, khususnya pada kalangan suporter sepak bola. Akun-akun sosial media bertebaran di mana-mana dengan ragam postingan yang jelas tak semua pengguna dapat memfilter dengan sempurna. Kalimat-kalimat fanatisme yang berlebihan, ucapan-ucapan kebencian terhadap rival yang keterlaluan, rasis dan semakin jauh dari sikap toleran. Kalimat demi kalimat, ucapan demi ucapan, postingan demi postingan semua terakumulasi menjadi sebuah pemahaman yang beragam tentang fanatisme dan rivalitas. 

Dimulai dari akun pribadi, organisasi, federasi, komunitas, sampai akun media yang berada di posisi netral, pun tak luput dari serbuan netizen dengan beragam reaksi yang sering pula melahirkan silang pendapat dan berujung pada kegaduhan dan provokasi. Lagi-lagi karena sifat yang mengedepankan fanatisme dan rivalitas yang berlebihan. Sehingga ketika saatnya tiba dalam kondisi nyata (luapan emosi sosial media) itu terjadi. Ekspresi kekecewaan ketika tim kalah, ekspresi euforia ketika tim menang, dan ekspresi kebencian kepada rival diluapkan dengan cara yang terkadang kurang tepat dan justru memicu hal yang tidak kondusif.

Banyak hikmah dari tragedi ini. Di sana-sini para suporter mengikrarkan perdamaian. Bonek yang disebut sebagai rival abadi oleh Aremania pun dengan keikhlasannya datang ke Kanjuruhan untuk menyampaikan rasa duka cita. Hampir semua elemen sepak bola dunia mengirim doa untuk para korban Kanjuruhan. Pro dan kontra selalu ada, namun hikmah yang diambil dari tragedi ini adalah hikmah tentang kebaikan. Pergerakan perubahan menuju satu titik. Berdamai. Damai usai tragedi. Tragedi dulu, baru damai. 

Upaya damai jelas tak semudah ketika niatan dan ikrar-ikrar itu diaksi. Saat berkabung seperti ini pun, di sosial media masih ada pihak-pihak yang seakan antipati tentang niat berdamai. Baiklah, mari kita mulai dari diri kita sendiri. Tak semata posting pita hitam dengan caption berbela sungkawa, berduka cita, namun perubahan pada diri kita tidak terjadi. Sudah saatnya untuk tidak tebar racun pada sosial media. Berbeda pendapat, berbeda paham itu wajar. namun ekspresikan dengan baik. Postingan pada sosial media sangat berpotensi untuk diterima oleh sekian banyak pihak, berpotensi pula melahirkan sekian banyak persepsi. Jadi, etika dalam bersosial media wajib untuk kita jaga. Mari tabur bunga pada sosial media. Tak semata tabur bunga sebagai ungkapan duka, namun untuk mencegah dan menghindari terjadinya duka berikutnya. [eat]


Eko Agus Triswanto, 8 Oktober 2022

Related Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar