PSSI
masih beku. Baned dari FIFA pun masih berlaku. Tapi kompetisi pada asosiasi
sepak bola Indonesia ini masih melaju. Dalam hal ini, yang menjadi sorotan saya
bukan kompetisi-kompetisi insidental pelipur lara pecinta sepak bola samacam
Piala Presiden, Piala Jenderal Sudirman, Bali Island Cup, Piala Gubernur Kaltim
atau piala-piala berserakan yang
diselenggarakan oleh panitia kompetisi Tarkam.
Akan tetapi kompetisi yang saya maksud adalah kompetisi berebut kursi. Iya,
apalagi kalau bukan berebut kekuasaan atas pernak-pernik yang meng-embel-embeli sepak bola. Dengan mengatasnamakan
olahraga yang ber-roh sportivitas semacam sepak bola, mereka rela melakukan apa
saja termasuk kecurangan, demi hasrat berkuasanya tercapai.
Tanggal
1 Maret 2016, salah satu stasiun televisi swasta nasional yang berlogo dominan
merah itu, kembali menayangkan acara rutin unggulannya. Acara yang diisi oleh
tokoh-tokoh pandai berdebat ini, untuk kesekian kalinya mengangkat tema tentang
PSSI. Temanya adalah “PSSI, Antara Hidup dan Mati.” Dalam tulisan saya ini,
saya tidak akan membahas apa yang dibahas pada acara tersebut. Akan tetapi saya
justru tergelitik untuk membahas
tanggapan dari netizen terhadap hal ini.
#SuntikMatiPSSI.
Hashtag ini sempat menjadi trending
topick di twitter.
Dan sampai pada tulisan ini saya buat, sudah lebih dari 15.000 tweet
membahasnya. Eksis benar, PSSI di twitter malam tadi, hingga hari ini.
Pemicu
hashtag tak lain dan tak bukan adalah acara debat yang saya sebutkan di atas.
Berdasarkan tweet dari beberapa netizen, debat tersebut tak berimbang,
menunjukkan cara-cara kekerasan, provokatif, unsur primanisme, bahkan setelah
penayangan acara debat tersebut juga terjadi pengeroyokan oleh segolongan orang
terhadap nara sumber. Ini, indikasi provokasi benar-benar mujarab mempengaruhi. Pun, netizen juga terprovokasi sehingga
banjirlah tweet dengan hashtag #SuntikMatiPSSI.
Mayoritas
dari para penuit (baca orang yang melakukan tweet), adalah dukungan untuk pembubaran
PSSI. Persik Kediri missal, dalam akunnya @tweetpersik mengatakan “Udah paling bener dibubarin emang, dari
dulu main keroyokan pakai preman mulu #SuntikMatiPSSI”. PSM garis keras dengan akunnya @Arqam78,
mengatakan “Apa yang diharapkan dari
federasi penuh premanisme, Lebih baik tidak nonton bola ketimbang nonton tp
skor sudah diatur #SuntikMatiPSSI” . Sedangkan Revolusi PSSI pada akunnya
@revolupssi, mengutip kata-kata salah satu tokoh besar negeri ini, “Kalau lumbung sudah dikuasai tikus, mending
kita bakar aja lumbungnya…-Gus Dur. #SuntikMatiPSSI #FederasiBaru”.
Sebenarnya
sudah lama rakyat Indonesia khususnya para pencinta menghendaki revolusi total
pada tubuh PSSI. Pelbagai upaya juga telah dilakukan oleh para insan bola di
tanah air. Akan tetapi tokoh-tokoh yang muncul sebagai penguasa bola di
Indonesia, ujung-ujungnya ya dari golongan itu-itu saja. Dengan itu, eksistensi
PSSI saat ini menurut saya adalah menyoal kedigdayaan para (yang dianggap)
mafia tersebut dalam memegang kendali PSSI.
PSSI,
sebagai induk olahraga yang paling digandrungi
oleh penghuni negeri ini, seharusnya bisa memberikan hiburan, harapan dan
bahkan matapencaharian bagi peng-gandrung-nya.
Bukan justru memicu keputusasaan dari para pencinta sepak bola, yang tandai
dengan munculnya hashtag #SuntikMatiPSSI ini. Memang hashtag ini jika diamati
tidak hanya mengisyaratkan keputusasaan saja. Masyarakat bola sebenarnya
mengharapkan setelah PSSI dibubarkan, akan dibentuk federasi baru yang lebih
bisa memikirkan kejayaan persepakbolaan negeri dibanding dengan kepuasan ambisi
pribadi dan golongan.
Jika
dalam statuta FIFA, pemerintah tidak boleh melakukan intervensi, di Indonesia
hal ini sudah terjadi. PSSI sudah beku. Baned FIFA, sekali lagi sudah berlaku.
Maka tinggal menunggu ketegasan pemerintah dalam menetukan sikap terhadap
keberlangsungan PSSI ini. Sebagaimana yang pernah di bahas salah mantan
presiden negeri ini, Susilo Bambang Yudhoyono. Beliau menunggu sikap pemerintah
terhadap persepakbolaan negeri ini, demi tercapainya sebuah prestasi. Minimal
menjadikan sepak bola sebagai hiburan rakyat Indonesia. Bukan justru melahirkan
keputusasaan. Sebaiknya pemerintah juga mempertimbangkan, dalam kebekuannya, PSSI saat ini tidak sedang dalam berdiam diri. Buktinya ketika dalam acara debat, kubu PSSI punya ambisi yang menggebu-gebu. Jika pemerintah tidak segera memiliki ketegasan maka bisa jadi pemerintah yang justru akan kerepotan mengkondisikannya.
Surabaya, 2 Februari 2016
E.A.T.
Eko Agus Triswanto
Related Post
- Memaknai Keberadaan dan Upaya Menyematkan Kebermanfaatan
- Meninggalkan Kenyamanan?
- Tabur Bunga di Sosial Media
- Kritisi dengan Solusi
- Inter Balas Dendam, Langkah Juve Tetap Melaju
- Suntik Mati PSSI, Antara Putus Asa dan Harapan
- Selain Menjadi Juara, Tim Futsal Gadung Melati FC Sabet Gelar Top Score dan The Best Player
- Selamat: GADUNG MELATI FC Juara Futsal Wiyoro Cup 2013
- Mengubur Mimpi Tunas-tunas yang Telah Disemai
- Seberapa Kuat Si Tuman?
- Marcelino Ferdinand Menjawab dengan Cara yang Tepat
- Catatan Bonek: Hujan Boneka di GBT
- Psikologi Pembelajaran untuk Generasi Z: Pendekatan yang Relevan di Era Digital
Tidak ada komentar:
Posting Komentar