Rabu, 02 Maret 2016

Suntik Mati PSSI, Antara Putus Asa dan Harapan

PSSI masih beku. Baned dari FIFA pun masih berlaku. Tapi kompetisi pada asosiasi sepak bola Indonesia ini masih melaju. Dalam hal ini, yang menjadi sorotan saya bukan kompetisi-kompetisi insidental pelipur lara pecinta sepak bola samacam Piala Presiden, Piala Jenderal Sudirman, Bali Island Cup, Piala Gubernur Kaltim atau piala-piala berserakan yang
diselenggarakan oleh panitia kompetisi Tarkam. Akan tetapi kompetisi yang saya maksud adalah kompetisi berebut kursi. Iya, apalagi kalau bukan berebut kekuasaan atas pernak-pernik yang meng-embel-embeli sepak bola. Dengan mengatasnamakan olahraga yang ber-roh sportivitas semacam sepak bola, mereka rela melakukan apa saja termasuk kecurangan, demi hasrat berkuasanya tercapai.
Tanggal 1 Maret 2016, salah satu stasiun televisi swasta nasional yang berlogo dominan merah itu, kembali menayangkan acara rutin unggulannya. Acara yang diisi oleh tokoh-tokoh pandai berdebat ini, untuk kesekian kalinya mengangkat tema tentang PSSI. Temanya adalah “PSSI, Antara Hidup dan Mati.” Dalam tulisan saya ini, saya tidak akan membahas apa yang dibahas pada acara tersebut. Akan tetapi saya justru tergelitik untuk  membahas tanggapan dari netizen terhadap hal ini.
#SuntikMatiPSSI. Hashtag ini sempat menjadi trending topick  di twitter. Dan sampai pada tulisan ini saya buat, sudah lebih dari 15.000 tweet membahasnya. Eksis benar, PSSI di twitter malam tadi, hingga hari ini.
Pemicu hashtag tak lain dan tak bukan adalah acara debat yang saya sebutkan di atas. Berdasarkan tweet dari beberapa netizen, debat tersebut tak berimbang, menunjukkan cara-cara kekerasan, provokatif, unsur primanisme, bahkan setelah penayangan acara debat tersebut juga terjadi pengeroyokan oleh segolongan orang terhadap nara sumber. Ini, indikasi provokasi benar-benar mujarab mempengaruhi. Pun, netizen juga terprovokasi sehingga banjirlah tweet dengan hashtag #SuntikMatiPSSI.
Mayoritas dari para penuit (baca orang yang melakukan tweet), adalah dukungan untuk pembubaran PSSI. Persik Kediri missal, dalam akunnya @tweetpersik mengatakan “Udah paling bener dibubarin emang, dari dulu main keroyokan pakai preman mulu #SuntikMatiPSSI”.  PSM garis keras dengan akunnya @Arqam78, mengatakan “Apa yang diharapkan dari federasi penuh premanisme, Lebih baik tidak nonton bola ketimbang nonton tp skor sudah diatur #SuntikMatiPSSI” . Sedangkan Revolusi PSSI pada akunnya @revolupssi, mengutip kata-kata salah satu tokoh besar negeri ini, “Kalau lumbung sudah dikuasai tikus, mending kita bakar aja lumbungnya…-Gus Dur. #SuntikMatiPSSI #FederasiBaru”.
Sebenarnya sudah lama rakyat Indonesia khususnya para pencinta menghendaki revolusi total pada tubuh PSSI. Pelbagai upaya juga telah dilakukan oleh para insan bola di tanah air. Akan tetapi tokoh-tokoh yang muncul sebagai penguasa bola di Indonesia, ujung-ujungnya ya dari golongan itu-itu saja. Dengan itu, eksistensi PSSI saat ini menurut saya adalah menyoal kedigdayaan para (yang dianggap) mafia tersebut dalam memegang kendali PSSI.
PSSI, sebagai induk olahraga yang paling digandrungi oleh penghuni negeri ini, seharusnya bisa memberikan hiburan, harapan dan bahkan matapencaharian bagi peng-gandrung-nya. Bukan justru memicu keputusasaan dari para pencinta sepak bola, yang tandai dengan munculnya hashtag #SuntikMatiPSSI ini. Memang hashtag ini jika diamati tidak hanya mengisyaratkan keputusasaan saja. Masyarakat bola sebenarnya mengharapkan setelah PSSI dibubarkan, akan dibentuk federasi baru yang lebih bisa memikirkan kejayaan persepakbolaan negeri dibanding dengan kepuasan ambisi pribadi dan golongan.

Jika dalam statuta FIFA, pemerintah tidak boleh melakukan intervensi, di Indonesia hal ini sudah terjadi. PSSI sudah beku. Baned FIFA, sekali lagi sudah berlaku. Maka tinggal menunggu ketegasan pemerintah dalam menetukan sikap terhadap keberlangsungan PSSI ini. Sebagaimana yang pernah di bahas salah mantan presiden negeri ini, Susilo Bambang Yudhoyono. Beliau menunggu sikap pemerintah terhadap persepakbolaan negeri ini, demi tercapainya sebuah prestasi. Minimal menjadikan sepak bola sebagai hiburan rakyat Indonesia. Bukan justru melahirkan keputusasaan. Sebaiknya pemerintah juga mempertimbangkan, dalam kebekuannya, PSSI saat ini tidak sedang dalam berdiam diri. Buktinya ketika dalam acara debat, kubu PSSI punya ambisi yang menggebu-gebu. Jika pemerintah tidak segera memiliki ketegasan maka bisa jadi pemerintah yang justru akan kerepotan mengkondisikannya. 


Surabaya, 2 Februari 2016
E.A.T.
Eko Agus Triswanto

Related Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar