Sabtu, 28 September 2024

TRANSFORMASI PENDIDIKAN INDONESIA: PERAN SMK


Pertanyaan pemandu: Apa yang perlu dilakukan SMK, untuk bertransformasi menjadi entitas yang berkontribusi positif dalam mewujudkan visi pendidikan Indonesia?

1. Prakarsa Perubahan Pendidikan Indonesia yang Transformasional
      Pemerintah telah menetapkan visi pendidikan Indonesia sebagai penunjuk arah dalam transformasi dunia pendidikan Indonesia, yaitu: “Mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat,mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya pelajar Pancasila”. Visi tersebut adalah upaya untuk melanjutkan pengejawantahan visi luhur bangsa Indonesia yang termaktub dalam tiap alinea di Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, terutama pada awal alinea empat:“…memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakanketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”. Dengan visi tersebut, dunia pendidikan Indonesia diharapkan dapat bertransformasi untukmenumbuhkan Pelajar Indonesia yang mampu berpartisipasi dalam pembangunan bangsa dan dunianya, baik lokal maupun global, secara berkelanjutan. Visi pendidikan tersebut, menunjukkan harapan agar kelak pelajar Indonesia dapat bertransformasi menjadi manusia Indonesia yang memiliki kompetensi sebagai warga negara yang demokratis, unggul dan produktif. Melalui visi tersebut, pelajar Indonesia diharapkan menjadi sosok yang tangguh dalam menghadapi berbagai tantangan, sehingga mampu berkontribusi positif pada ketercapaian tujuan pembangunan berkelanjutan sejak masa sekolah.
          Dianggap sebagai bagian dari upaya transformasi dunia pendidikan, sekolah sering
melakukan pengembangan dan peningkatan dengan memperbaiki masalah demi masalah atau menutup kekurangan demi kekurangan yang dihadapi sekolah. Hal ini wajar, namun tidaklah cukup. Perubahan transformasional di dunia pendidikan hanya dapat terwujud jika sekolah menetapkan dan/atau menguatkan kembali visinya sehingga fokus pada penumbuhan karakter dan keterampilan peserta didik mereka secara holistik. Lalu, visi tersebut digunakan sebagai arah tujuan pengembangan dan peningkatan sekolah ke depan. Saat sekolah memiliki visi yang kuat dan jelas, mereka akan memiliki “kepekaan lebih” pada kekuatan dan potensi yang telah mereka miliki. Penyelarasan dan pendayagunaan kekuatan/potensi inilah yang akan membuat sekolah mampu memperbesar kemungkinan tercapainya visi tersebut. Sekolah juga mampu memilah dan memilih kekurangan atau permasalahan mana yang relevan dan harus diselesaikan segera, bersama-sama, agar visinya terwujud. Perubahan transformasional bukan soal status, namun soal habitus. Dengan demikian, sekolah bertransformasi menjadi entitas yang mahir dalam menyelaraskan segala kekuatan dan potensi yang telah dimiliki, sehingga segala kelemahan mereka tidak relevan dalam mewujudkan visi.
       Oleh karena itu, perubahan pendidikan Indonesia kali ini bersifat transformatif karena menyasar terhadap perubahan di bagian pondasi, sebagaimana tergambar dalam ilustrasi “Gunung Es Berpikir Sistemik” berikut, yaitu: mengubah model mental, dan karakter.
      Berdasarkan Gambar “Gunung Es Berpikir Sistemik” di atas, tampak bahwa perubahan transformasional itu berada di dasar gunung es, sehingga pemimpin perubahan tidaklah cukup jika hanya bertindak reaktif ketika menghadapi suatu kejadian, atau antisipatif setelah melihat kejadian yang berpola-berulang, atau mengubah desain atau struktur untuk mempengaruhi interaksi antarbagian di institusinya. Pemimpin perubahan transformasional akan mendorong perubahan model mental, perubahan karakter individu-individu dalam ekosistem institusinya. Mereka berjuang menyiapkan situasi dan lingkungan yang memungkinkan model mental dan karakter positif bertumbuh dan menguat, sehingga individu-individu tersebut menjadi pribadi yang merdeka, mengetahui mana yang baik-buruk, benar-salah, punya harga diri, integritas, berjuang pantang menyerah, tertib mengelola peri kehidupannya, serta menjaga hubungan yang positif dengan orang lain, sebagaimana definisi “merdeka” menurut Ki Hadjar Dewantara: “Beratlah kemerdekaan itu! Bukan hanya tidak terperintah saja, akan tetapi harus juga dapat menegakkan dirinya dan mengatur perikehidupannya dengan tertib. Dalam hal ini termasuklah juga mengatur tertibnya perhubungan dengan kemerdekaan orang lain." (Prasaran ke-8, Kongres PPPKI ke-1, Surabaya, 31 Agustus 1928). Pemimpin perubahan transformasionalakan mengupayakan sedemikian rupa agar ekosistem institusinya memungkinkan setiap individu di dalamnya “belajar merdeka”.
      Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) adalah satu kekuatan dalam ekosistem pendidikan Indonesia yang diharapkan dapat berkontribusi, bahkan mengakselerasi, ketercapaian visi pendidikan Indonesia. Lulusan SMK diproyeksikan dapat berkontribusi langsung di dunia kerja, dunia usaha, dan dunia industri, segera setelah lepas dari sekolah. Jadi, pada hakekatnya, produk nyata SMK, bukanlah produk usaha atau industri atau jasa yang dihasilkan sekolah, produk nyata SMK adalah para peserta didik mereka, peserta didik yang berkompetensi unggulsekaligus berkarakter luhur. Hal ini adalah hal yang harus direncanakan serta diupayakan secara terencana dan gotong-royong.
       Merespon Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan Dalam Rangka Peningkatan Kualitas dan Daya Saing Sumber Daya Manusia Indonesia, Kemendikbud melakukan beberapa upaya agar lulusan SMK bermutu tinggi, relevan dengan kebutuhan dunia usaha/dunia industri (DU/DI) atau kini menjadi IDUKA (dunia industri, dunia usaha, dunia kerja), dan dapat menjawab persaingan regional (pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN) maupun global. Kemendikbud telah menetapkan empat bidang keahlian prioritas yaitu: kelautan, pariwisata, pertanian, dan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) demi menguatkan dan melanjutkan apa yang sudah dilakukan sejak 2018. Program penguatan vokasi ini dilakukan dengan pendekatan: teaching factory/techno park, kerja sama dengan industri, dan penyelarasan kejuruan dengan sertifikasi profesi.
         Sebagai catatan, pada gambar di atas ini, angka kebekerjaan lulusan perguruan tinggi vokasi dan kejuruan (SMK) pada periode 2017-2019, masih jauh di bawah angka kebekerjaan lulusan perguruan tinggi akademik. Pada tahun 2019, 55,08% lulusan D1-D3 mendapatkan pekerjaan dalam satu tahun setelah mereka lulus, sedangkan lulusan S1 ada 65%. Oleh karena itu, pendidikan vokasi menjadi program prioritas Kemendikbud untuk menghasilkan lulusan yang relevan. Upaya meningkatkan mutu pembelajaran, perbaikan mutu luaran program pendidikan, dan pelatihan wajib dilakukan demi fokus dalam meningkatkan relevansi lulusan SMK ini.

2. Penerapan Perubahan Transformasional: Paradigma Inkuiri Apresiatif dan Pengembangan Komunitas Berbasis Aset
    Paradigma inkuiri apresiatif (IA) dan pengembangan komunitas berbasis aset/kekuatan (PKBA) kali ini akan dibahas secara berdampingan, karena keduanya saling menguatkan. Paradigma IA percaya bahwa setiap orang memiliki inti positif yang dapat memberikan kontribusi pada keberhasilan. Inti positif ini merupakan potensi dan aset organisasi. Dalam implementasinya, IA dimulai dengan menggali hal-hal positif, keberhasilan yang telah dicapai dan kekuatan yang dimiliki organisasi, sebelum organisasi menapak pada tahap selanjutnya dalam melakukan perencanaan perubahan. Menurut Cooperrider & Whitney (2005), IA adalah suatu filosofi, landasan berpikir, yang berfokus pada upaya kolaboratif menemukan hal positif dalam diri seseorang, organisasi, dan dunia sekitarnya, baik dari masa lalu, masa kini, maupun masa depan. Merekapun mengatakan bahwa saat ini kita hidup pada zaman yang membutuhkan mata yang dapat melihat dan mengungkap hal yang baik dan benar. Mata yang mampu membukakan kemungkinan perbaikan dan memberikan apresiasi atas hal yang sudah berjalan baik. Noble & McGrath (2016) pun menguatkan bahwa IA merupakan pendekatan untuk mengelola perubahan dan pengembangan organisasi secara kolaboratif yang prosesnya dapat membangkitkan energi dan memotivasi individu yang terlibat untuk bersama-sama mengupayakan hasil positif dengan mengidentifikasi apa yang terbaik dari institusinya berikut orang-orang di dalamnya. Apabila sebuah institusi lebih banyak membangun sisi positif yang P telah dimilikinya, maka kekuatan sumber daya manusia dalam institusi tersebut dipastikan akan meningkat dan niscaya akan terus berkembang secara berkelanjutan.


BAGJA: ALAT BANTU PENGELOLAAN PERUBAHAN YANG KOLABORATIF DAN BERKELANJUTAN

BAGJA adalah gubahan tahapan Inkuiri Apresiatif (IA) sebagai pendekatan pengelolaan atau manajemen perubahan yang pertama kali diperkenalkan oleh Cooperrider dengan langkah 4D: Discover-Dream-Design-Deliver (Cooperrider & Whitney, 2005). Model tersebut kemudian berevolusi menjadi 5-D dalam praktik-praktik selanjutnya, dengan memecah tahapan Discover menjadi: Define dan Discover (Cooperrider et.al, 2008). Inilah kemudian yang digubah menjadi BAGJA, sebagai langkah-langkah yang perlu diikuti oleh pemimpin perubahan dalam mengelola perubahan demi mengejawantahkan VISI bersama. Pemaparan di bawah ini berupaya menggambarkan contoh bagaimana manajemen perubahan BAGJA dapat dijalankan. Bapak/Ibu dapat memperhatikan bagaimana tiap tahapan dipandu oleh pertanyaan-pertanyaan inkuiri yang berupaya mengungkap aset, kekuatan, dan potensi yang telah dimiliki dan dapat meningkatkan ketercapaian tujuan prakarsa perubahan yang telah ditetapkan.

Pemaparan di bawah ini berupaya menggambarkan contoh bagaimana manajemen perubahan BAGJA dapat dijalankan. Bapak/Ibu dapat memperhatikan bagaimana tiap tahapan dipandu oleh pertanyaan-pertanyaan inkuiri yang berupaya mengungkap aset, kekuatan, dan potensi yang telah dimiliki dan dapat meningkatkan ketercapaian tujuan prakarsa perubahan yang telah ditetapkan.

B = Tahap 1: Buat Pertanyaan Utama (DEFINE)
Pada tahap ini, pemimpin perubahan menentukan arah dan merumuskan fokus utama penyelidikan melalui SATU pertanyaan utama. Pertanyaan yang dipilih dalam pendekatan ini sangat penting untuk menuntun jalannya proses dan pencapaian hasil yang diinginkan dari suatu perubahan, misalnya:
  • Bagaimana kita dapat meningkatkan kreatifitas peserta didik di SMK kita dengan cara yang hemat biaya? atau
  • Bagaimana kita dapat meningkatkan angka kebekerjaan lulusan SMK kita dalam 2 tahun mendatang hingga paling tidak 95%? atau
  • Bagaimana kita dapat meningkatkan keterlibatan peserta didik dalam berbagai kegiatan inovasi di masyarakat/lingkungan sekolah?, dsb.
A = Tahap 2: Ambil pelajaran (DISCOVER)
Pada tahap ini, pemimpin perubahan mengumpulkan berbagai pengalaman positif yang dirasakan oleh para pihak yang multi unsur (misalkan: peserta didik, orang tua, komite, guru, staf sekolah, dsb.), mengenai apa yang telah dicapai terkait “pertanyaan utama”-nya, baik dari dinamika proses maupun hasil, baik dari kelas, sekolah, maupun lingkungan/masyarakat sekitar, sekaligus mengambil pelajaran dari hal-hal positif tersebut. Tindakan yang dilakukan dapat bermacam-macam, namun semua tindakan tersebut dilakukan untuk menindaklanjuti pertanyaan utama berikut pertanyaan-pertanyaan lanjutan yang diperlukan untuk mengungkap pengalaman-pengalaman positif dari segenap anggota komunitas di sekolah.
Pada kesempatan ini tindakan-tindakan yang perlu dilakukan dapat dicontohkan sebagai 5 Langkah Mengambil Pelajaran, yang secara garis besar terdiri dari tindakan awal yang dilakukan secara individu, kemudian dilanjutkan dalam kelompok-kelompok kecil, lalu bersama-sama dalam kelompok yang lebih besar atau menangkap simpulan akumulatif dari pelajaran yang diambil di kelompok-kelompok kecil sebelumnya. Intinya, proses ini digunakan untuk menemukan apa yang dapat dipelajari dari pengalaman kolektif di masa lalu tentang apa yang telah berhasil dengan baik dicapai/dilakukan dan apa saja fitur/aset/potensi terbaik sekolah yang dapat kita perkuat jika kita ingin mencapai tujuan perubahan yang diinginkan.

Lima Langkah Mengambil Pelajaran:
1. Refleksi Individu: Setiap pihak (dari multi unsur) melakukan refleksi memikirkan kembali pengalaman mereka berinteraksi di sekolah, mengidentifikasi situasi/pengalaman tertentu, atau masa/suasana yang benar-benar menonjol bagi mereka karena merasakan semangat, puas, bangga, dan merasa seperti 'melakukan sesuatu dengan benar' terkait dengan “pertanyaan utama”-nya. Pertimbangkan pertanyaan-pertanyaan lanjutan dari pertanyaan utama, misalnya: jika pertanyaan utamanya adalah “Bagaimana kita dapat meningkatkan angka kebekerjaan lulusan SMK kita dalam 2 tahun mendatang hingga paling tidak 95%?”, maka pertanyaan lanjutannya antara lain:
  • Apa saja yang membuat lulusan SMK kita dapat diterima bekerja (atau bahkan dapat membuka usaha sendiri)?
  • Tindakan apa yang telah dilakukan untuk meningkatkan kemungkinan lulusan kita diterima bekerja (atau bahkan dapat membuka usaha sendiri)?
  • Struktur atau nilai-nilai apa yang dipromosikan SMK kita sehingga IDUKA mau menerima mereka bekerja secara jangka panjang (long-term)?
  • Siapa saja yang memegang peranan kunci dan memungkinkan tingginya peluang kebekerjaan lulusan kita? Bagaimana mereka melakukannya?
  • Bagaimana Bapak/Ibu sendiri berkontribusi pada diterima-kerjanya lulusan kita dan kekuatan apa dari diri sendiri yang telah Bapak/Ibu kontribusikan?
2. Saling Berbagi Cerita (berpasangan): Satu orang menceritakan kepada orang lain kisah
pengalaman/situasi/waktu pribadi yang baru menjadi refleksi mereka. Sebagai pihak yang mendengar, hadirkan rasa ingin tahu dan ketertarikan, gunakan pertanyaan-pertanyaan yang mendorong eksplorasi, seperti: 'beri tahu saya lebih banyak' sambil mencatat hal-hal yang didengar menarik. Kemudian bertukar posisi.

3. Menceritakan kembali dengan 2-3 pasangan: Pasangan-pasangan kemudian bergabung menjadi satu kelompok (4-6 orang). Setiap orang menceritakan kembali kisah pasangannya kepada pasangan lainnya sehingga akan terjadi 4-6 kisah yang diceritakan kembali.

4. Menganalisis dalam kelompok 4-6 orang: Tiap anggota dalam kelompok bekerja bersama untuk mengidentifikasi 'tema' utama yang muncul ketika 4-6 cerita mereka digabungkan, hal ini berfokus pada:
  • Apa yang dapat mereka pelajari dari praktik selama ini atau masa lalu tentang faktor-faktor yang dapat "membuat perbedaan" dalam meningkatkan angka kebekerjaan lulusan SMK.
  • Apa yang telah mereka identifikasi sebagai "hal terbaik" (dulu dan sekarang) tentang SMK mereka (misalnya: aset dan potensi seperti orang, komunitas sekolah, sumber daya,kepemimpinan, nilai-nilai yang dipelihara dan ditumbuhkan). Diskusi ini akan berkontribusi pada 'inti positif' sekolah untuk kemudian dapat dimanfaatkan, dibangun, atau terus dipelihara.
Sebaiknya, sebelum diskusi dimulai, tiap orang dalam kelompok mengambil peran-peran
sebagai berikut: pemimpin kelompok, juru bicara kelompok, pencatat simpulan kelompok, pemerhati waktu, menggambar mind-map tentang apa yang telah didiskusikan dan disimpulkan > hasil kelompok ditempatkan di sekitar ruangan agar juga dapat dilihat oleh seluruh kelompok sebelum langkah terakhir dimulai.

5. Berbagi insight/rangkuman/pelajaran kelompok kepada semua kelompok: Setiap juru bicara kelompok merangkum apa yang 'diambil' sebagai pelajaran tentang apa yang dapat membuat perbedaan untuk meningkatkan angka kebekerjaan lulusan SMK dalam 2 tahun lagi serta fitur/aset/potensi terbaik di SMK mereka yang dapat membantu mewujudkan prakarsa perubahan ini. Pemimpin perubahan membuat daftar ‘tema’ yang dipetik masing-masing kelompok dan mengidentifikasi pola serta kesamaannya.

Catatan: Lima Langkah Mengambil Pelajaran ini dapat dilakukan secara tatap muka langsung di waktudan tempat yang sama, baik seluruhnya-sekaligus, maupun menjadi beberapa sesi pertemuan. Dapatjuga didahului dengan survey (refleksi individu) lalu dilanjutkan pertemuan-pertemuan langsung untuklangkah berikutnya.

G = Tahap 3: Gali mimpi (DREAM)
Pada tahap ini, para pihak bersama-sama membangun gambaran ideal (berdasarkan aset dankekuatan yang telah dimiliki) tentang bagaimana keadaan layanan pendidikan di sekolah SMK mereka,para pendidiknya, para peserta didik mereka, lulusan mereka, jika semua yang dapat mereka pikirkan
tentang hal yang berkontribusi pada peningkatan angka kebekerjaan lulusan SMK mereka terwujud dalam 2 tahun lagi. Pemimpin perubahan dapat menyiapkan pertanyaan-pertanyaan pemandu terlebih dahulu, seperti:
  • Menimbang aset/kekuatan yang telah dimiliki sekarang, struktur/organisasi/ dukungan apa yang mungkin ada saat angka kebekerjaan lulusan SMK kita telah meningkat?
  • Seperti apa sarpras SMK kita? Seperti apa tata letak atau pemanfaan fisik/fasilitas pembelajaran yang telah ada? Sumber daya apa yang akan tersedia saat itu?
  • Kebiasaan/budaya apa yang sekarang telah ada dan dapat mendukung serta menguatkan tercapainya peningkatan angka kebekerjaan lulusan SMK kita 2 tahun mendatang? Budaya baru apa yang mungkin tumbuh saat itu?
  • Bagaimana orang-orang di dalamnya? Seperti apa mereka bertindak-berpikir-merasa?
  • Apa yang membuat proses belajar mengajar saat angka kebekerjaan lulusan SMK kita telah meningkat berbeda? Dalam hal apa perbedaannya?
J = Tahap 4: Jabarkan rencana (DESAIN)
Pada tahap ini, para pihak bersama-sama atau menetapkan perwakilannya, terus membangun rencana bersama dengan mengidentifikasi tindakan terbaik yang dapat diambil untuk mewujudkan MIMPI yang telah digambarkan sehingga angka kebekerjaan lulusan SMK kita dalam 2 tahun mendatang meningkat 95% menjadi kenyataan. Pemimpin perubahan perlu menyiapkan pertanyaan-pertanyaan untuk memfasilitasi para pihak dapat memutuskan rencana yang perlu disiapkan, misalnya:
  • Apa DUA tindakan kecil yang dapat segera dilakukan yang akan membuat perbedaan signifikan dalam peningkatan angka kebekerjaan lulusan?
  • Apa SATU tindakan 'berani' yang dapat diambil yang berpotensi menjadi 'game changer'?
  • Siapa yang akan melakukan apa, bagaimana, dan kapan?
  • Bagaimana mengukur kemajuan dan mempertahankannya?
  • Dengan cara apa para pihak di sekolah saling berinteraksi dan dapat 'berimprovisasi' secara informal serta memberikan kontribusi mereka demi meningkatnya angka kebekerjaan lulusan?, dsb.
A = Tahap 5: Atur eksekusi (DELIVER)
Pada tahap ini, pemimpin perubahan dan para pihak (atau yang mewakili) perlu menentukan pertanyaan-pertanyaan yang membantu mereka membuat keputusan bersama terkait eksekusi rencana, misalnya:
  • Siapa yang akan terlibat dalam setiap 'tindakan' yang diidentifikasi di tahap sebelumnya?
  • Bagaimana dan bilamana mereka akan melaporkan perkembangannya (proses dan hasil)? Apa yang diperlukan untuk memantau jalannya rencana? 
Menurut Bapak/Ibu, kapan waktu yang memungkinkan untuk melakukan refleksi dan evaluasi atas proses dan pencapaian hasil?, dsb.
______
Sumber: Noble & McGrath, 2016, h.66-68

         Pengembangan Komunitas Berbasis Aset (PKBA) merupakan suatu kerangka kerja yang dikembangkan oleh John McKnight dan Jody Kretzmann, pendiri dari ABCD Institute diNorthwestern University, Amerika Serikat. ABCD dibangun dari kemampuan, pengalaman, pengetahuan, dan hasrat yang dimiliki oleh anggota komunitas, kekuatan perkumpulan lokal, dan dukungan positif dari lembaga lokal untuk menciptakan kehidupan komunitas yang berkelanjutan (Kretzman, 2010). Pendekatan Pengembangan Komunitas Berbasis Aset (PKBA) muncul sebagai kritik terhadap pendekatan konvensional atau tradisional yang menekankan pada masalah, dan kekurangan yang ada pada suatu komunitas. Pendekatan tradisional tersebut menempatkan komunitas sebagai penerima bantuan, dan dengan demikian dapat menyebabkan anggota komunitas menjadi merasa tidak berdaya, pasif, dan selalu bergantung dengan pihak lain. Pendekatan ini memberikan nilai lebih pada kapasitas, kemampuan, pengetahuan, jaringan, dan potensi yang dimiliki oleh komunitas. Dengan demikian pendekatan ini melihat komunitas sebagai pencipta dari kesehatan dan kesejahteraan, bukan sebagai sekedar penerima bantuan. Pendekatan PKBA menekankan dan mendorong komunitas untuk dapat memberdayakan aset yang dimilikinya serta membangun keterkaitan dari aset-aset tersebut agar menjadi lebih berdaya guna.
         Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Guru Dan Tenaga Kependidikan Nomor 6565/B/Gt/2020 tentang Model Kompetensi Dalam Pengembangan Profesi Guru, bagian Model Kompetensi Kepemimpinan Sekolah, ada suatu kategori yaitu: “Kepemimpinan pengembangan sekolah” yang salah satu kompetensinya adalah mengindikasikan agar Kepala Sekolah (termasuk juga Kepala SMK) perlu mengadopsi paradigma IA dan pendekatan PKBA, yaitu: “Memimpin program pengembangan sekolah untuk mengoptimalkan proses belajar peserta didik dan mendukung kebutuhan masyarakat sekitar sekolah yang relevan”. Oleh karena itu, sebagai kepala institusi pendidikan yang berada di tengah-tengah masyarakat, dengan beragam potensi dan kekayaan di daerahnya, Kepala SMK juga harus memikirkan bagaimana para peserta didik dan sekolah yang dipimpinnya dapat bermanfaat besar bagi daerahnya itu. Pengalaman bersekolah di SMK harus dapat memantik lulusannya untuk memiliki cita-cita yang tidak saja untuk dirinya sendiri, namun juga untuk kepentingan daerahnya, serta bangsa dan negaranya.
          Jadi, pertanyaan “bagaimana agar lulusan SMK mampu berkarya dan terserap di dunia kerja (dahulu IDUKA: dunia industri, dunia usaha dan dunia kerja)?” tidak langsung dapat terjawab dengan menjalankan strategi link and match, atau menyediakan teaching factory/technopark saja. Ada banyak kompleksitas yang harus diurai dan dipahami bersama terlebih dahulu, sehingga kemudian dapat disusun rencana untuk membangun ‘jalan’ yang akan membawa lulusan SMK pada kesempatan untuk mengontribusikan tak hanya tenaganya, namun termasuk juga karyanya pada dunia kerja, dunia usaha, maupun dunia industri dan memberikan dampak positif bagi masyarakat serta lingkungan di daerahnya, bangsa dan negaranya. Kepala SMK, perlu kembali melihat posisi di mana mereka berada, seperti apa masyarakat, sumber daya, dan potensi daerahnya, lalu mendorong terciptanya gotong-royong untuk mewujudkan program sekolah yang mampu mengoptimalkan proses belajar peserta didik sekaligus mendukung kebutuhan masyarakat sekitar sekolah yang relevan dan berkelanjutan.

8 KARAKTERISTIK KOMUNITAS SEKOLAH YANG SEHAT DAN TANGGUH

Kepala SMK dapat belajar tentang bagaimana menyiapkan komunitas sekolah agar memiliki karakteristik sehat dan tangguh (resilien), sebagaimana dijelaskan berikut ini.
  1. Mempraktikkan dialog berkelanjutan dan partisipasi anggota masyarakat. Perilaku yang menghargai keragaman dan mendorong dialog penduduk yang aktif, partisipasi dan kepemilikan masyarakat atas masa depan. Apabila kita aplikasikan ke sekolah bagaimana dialog berkelanjutan terjadi yang sekaligus mendorong perilaku yang menghargai keragaman antar-warga sekolah demi masa depan para peserta didik.
  2. Menumbuhkan komitmen terhadap tempat (sekolah dan lingkungan sekitarnya). Perilaku yang memperkuat koneksi sekolah dengan komunitasnya baik dalam segi sosial, lingkungan, dan ekonomi mereka. Sekolah memperkuat komitmen warganya untuk bergotong royong demi sebesar-besarnya kemajuan/kepentingan para peserta didik.
  3. Membangun koneksi dan kolaborasi. Perilaku yang mendorong upaya untuk menjalin hubungan dan jejaring antara warga sekolah, masyarakat sekitar, organisasi yang ada, dan aset lainnya, menjadi sangat penting agar sekolah sehat dan inklusif, sehingga perencanaan dan tindakan mereka kolaboratif.
  4. Mengenal dirinya sendiri (sebagai satu komunitas) dan membangun aset yang ada. Perilaku yang menemukan, memetakan, menghubungkan, dan memanfaatkan sumber daya seluruh komunitas yang ada. Sekolah membangun dengan melihat pada kekuatan, potensi, dan tantangan. Mereka fokus pada pembangunan sumber daya yang tersedia, kapasitas yang dimiliki, serta kekuatan dan aspirasi yang sudah ada.
  5. Membangun masa depan bersama. Perilaku yang memungkinkan adanya visi bersama tentang masa depan, tercermin dalam tujuan praktis, rencana aksi, dan prioritas, ditambah dengan keinginan untuk menjaga kesejahteraan generasi mendatang. Sekolah menciptakan visi sebagai perwakilan dari cita-cita yang ingin diwujudkan pada para peserta didiknya.
  6. Bertindak dengan obsesi ide dan peluang. Perilaku yang mendorong pencarian tanpa akhir untuk ide-ide baru dan tepat, serta kemungkinan pengembangan sumber daya internal dan eksternal. Menggeser kebiasaan bertanya: “Ada masalah apa?” dan “Bagaimana memperbaikinya?”, menjadi pertanyaan: “Apa yang telah berhasil dilakukan?” dan “Bagaimana mengupayakan agar lebih baik lagi?”.
  7. Merangkul dan bertanggung jawab atas perubahan yang datang. Perilaku yang memperkuat kemampuan komunitas untuk menyikapi perubahan dan pulih dari krisis, mengadopsi pola pikir yang fokus pada optimisme, harapan, dan yakin bahwa 'kita bisa melakukannya'. Titik awal perubahan pada sekolah selalu pada perubahan pola pikir (mindset) dan sikap yang positif.
  8. Menghasilkan jiwa-jiwa kepemimpinan baru. Perilaku yang terus-menerus memperluas dan memperbaharui kapasitas kepemimpinan dalam komunitas. Faktor utama dalam perubahan yang berkelanjutan di sekolah adalah pengembangan dan pembaharuan kepemimpinan secara terus menerus.
[Sumber: Bank of I.D.E.A.S, 2014]

3. Perencanaan Berbasis Data: Menciptakan Dialog Berbasis Data/Fakta yang Akan Menguatkan Makna Agar Proses Pemahaman Dilakukan Tanpa Terburu-buru Melompat ke Proses Perencanaan

          Pada bagian sebelumnya, Bapak/Ibu sudah mengenal model manajemen perubahan
Inkuiri Apresiatif BAGJA. Pada Program pendidikan Guru Penggerak ini, model tersebut dipilih karena dapat mendorong para pemimpin perubahan untuk menikmati proses perubahan secara kolaboratif dan penuh kesadaran dalam membangun pemahaman bersama mengenai apa yang membuat prakarsa perubahan penting dan perlu untuk diwujudkan, mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan yang dapat membantu proses melihat dengan jernih kompleksitas dari tujuan serta tantangan yang dihadapi, menggali harapan dan memperjelas ekspektasi, baru kemudian beranjak merencanakan dan mengeksekusi aksi nyata yang diperlukan untuk mewujudkan tujuan atau mengatasi tantangan prakarsa perubahan yang diinginkan.
       Sebetulnya, tidak ada garis batas yang nyata antara fase-fase dalam BAGJA. Tapi dapat disederhanakan menjadi 2 bagian utama. Bagian pertama Pemaknaan (Buat pertanyaan utama, Ambil pelajaran, Gali mimpi) lalu Perencanaan beserta eksekusinya (Jabarkan rencana dan Atur eksekusi). Kemudian, dalam momen untuk menggali mimpi, lebih dulu ambil kesimpulan akan apa yang dapat dimanfaatkan bersama sebagai daya ungkit menuju pencapaian tujuan prakarsa perubahan. Lihat hubungan sebab-akibat baik yang langsung tampak maupun tidak. Konfirmasi hal tersebut dengan bukti-bukti yang nyata akan adanya hubungan sebab-akibat tersebut. Dari sana kemudian, susun gambaran/impian di masa depan yang diinginkan dari hasil identifikasi tindakan yang diperlukan demi menjawab tantangan/mencapai tujuan prakarsa perubahan. Pada bagian ini, gambaran tersebut akan digunakan untuk menentukan data/fakta apa yang dapat dijadikan sebagai bukti nyata dan memandu pembuatan rencana dan eksekusinya.
        Bridges (1990, dalam Wellman & Lipton, 2004: hal 6) menyatakan, perubahan itu terjadi secara konstan di masyarakat dan di sekolah, respon atas perubahan tersebut lah yang selalu bersifat lokal dan sangat personal. Perubahan itu sesuatu yang hadirnya tak bisa kita tolak dan sejatinya bukan perubahan-lah yang menjadi permasalahan. Permasalahan sesungguhnya ada dalam proses transisi atau re-orientasi psikologis individu-individu dimana perubahan itu terjadi. Pendidik di sekolah (kepala sekolah, guru-guru, dan segenap orang dewasa di komunitas sekolah), adalah pembangkit pengetahuan baru mengenai praktik (belajar-mengajar) di sekolah, hanya jika mereka bergerak dalam tata budaya kolaboratif yang secara sengaja memanfaatkan proses inkuiri berbasis data dalam refleksi praktik-praktik yang dilakukan tersebut.
            Ketika dihadapkan dengan perencanaan berbasis data serta kebutuhan untuk
mengorganisasi atau menganalisis data secara efektif, para pendidik seringkali merasa memiliki keterbatasan pengetahuan dan keterampilan teknis (misal: statistik). Padahal, batasan utama menuju proses perencanaan dan inkuiri berbasis data yang sukses adalah bagaimana data dipergunakan, bagaimana dialog berbasis data dijalankan. Biasanya, data dikumpulkan untuk diberikan pada pihak lain untuk memenuhi kewajiban atau mematuhi aturan saja, misalnya: pada kantor disdik setempat, pada para pihak IDUKA (dunia industri, dunia usaha, dunia kerja), untuk diknas pusat, untuk penyelesaian tesis/disertasi, atau untuk guru tahun ajaran berikutnya. Data, sedikit sekali dipergunakan untuk penilaian diri, refleksi, apalagi pengungkapan atau penemuan. Lebih buruk lagi, data dipergunakan untuk mengintimidasi atau menyalahkan, bukan untuk mendukung-meningkatkan perbaikan, atau untuk memahami- memperbaiki praktik yang dilakukan. Kita harus dapat bergeser dari “pemberi” data yang patuh menjadi “pengguna” data yang sadar, bertanggung-jawab, dan kolaboratif.
          Pada akhirnya, para Kepala SMK sebagai pemimpin perubahan diharapkan dapat memanfaatkan dan menginvestasikan lebih banyak waktu untuk mengoneksikan data/fakta yang ada dengan prakarsa perubahan yang diinginkan dan visi serta harapan sekolah atas para peserta didiknya. Di sinilah kesempatan untuk mengemukakan semua prediksi dan asumsi di atas meja dialog. Buatlah pertanyaan utama untuk memandu arah dan menemukan kemungkinan-kemungkinan untuk belajar bersama. Kemudian, ungkaplah bersama-sama pengalaman nyata yang relevan dan berkontribusi positif pada perjalanan sekolah sebagai institusi dan komunitas, terkait dengan prakarsa perubahan tadi, ambillah pelajaran. Lihat bersama-sama secara objektif data/fakta yang terungkap. Hindari sikap prasangka buruk dan penghakiman ketika berhadapan dengan data/fakta tersebut, manfaatkanlah 6 asumsi pemandu dialog berbasis data (di akhir bacaan ini). Analisislah data/fakta dari sudut pandang netral. Mulailah dialog berbasis data atau menyikapi-menganalisis data dengan pemilihan sudut pandang impersonal, dengan mengadopsi norma-norma berikut.
  1. Menguatkan niat kuat untuk memberikan dampak terbaik pada peserta didik, biasakanlah secara sadar bersikap “ingin-tahu” dan memilih kemungkinan untuk menguatkan makna walaupun “belum pasti”. Ini mendorong tim yang terlibat untuk tidak terburu-buru mengambil kesimpulan prematur. Mereka akan tetap berpikiran terbuka dan mampu memberikan sudut pandang yang segar. Biasakan melihat dan memaknai data/fakta bersama-sama, gunakan bantuan visual, agar tim yang terlibat dapat fokus melihat satu demi satu poin yang muncul.
  2. Membiasakan de-personalisasi data, sehingga secara emosional, kelompok akan lebih mudah melakukan eksplorasi dan pengungkapan. Mengelola keterlibatan emosi. Misalnya: ketimbang menanyakan “apa yang dikatakan data ini tentang layanan yang telah kita berikan” menjadi “poin apa saja yang muncul dari data ini” atau “pola apa yang terlihat dari data ini”
  3. Berfokus pada kegiatan mengeksplorasi kemungkinan/peluang yang muncul dari data/fakta bukan pada kegiatan menjelaskan data/fakta tersebut. Maka perlu lebih dulu menentukan fokus, memilih, memilah, membandingkan, dan mengkontraskan data, agar tim yang terlibat tidak kewalahan dan siap untuk menggali informasi lebih lanjut.
  1. Data tidak memiliki makna: Data hanyalah pintu menuju informasi atau makna. Manusia-lah, baik individu maupun kelompok, yang menangkap informasi berdasarkan makna yang dibuatnya melalui pengorganisasian, analisis, dan interpretasi data tersebut. Data itu sendiri objektif, sedangkan interpretasi itu subjektif. Kerangka berpikir yang kita gunakan, pandangan atau perspektif kita akan ‘dunia’, mempengaruhi informasi dan makna yang kita ‘tarik’ dari data yang kita ambil (pilah dan pilih).
  2. Pengetahuan dikonstruksi secara individu dan sosial: Manusia adalah makhluk pembuat makna. Pengetahuan itu dikonstruksi secara sosial dan terintegrasi secara individual. Kita menyaring pengalaman menggunakan filter personal dan sosial, membangun keyakinan, dan cara-cara untuk mengetahui atau memahami. Individu berinteraksi dengan informasi sekaligus dengan individu yang lain untuk membentuk pengetahuan baru atas dunia kita dan tentang dunia kita.
  3. Ada hubungan resiprokal antara budaya suatu organisasi dengan pikiran dan perilaku anggotanya: Sebagaimana masyarakat, organisasi itu memiliki budaya yang menentukan moda perilakunya. Artefak-, simbol-, dan ritual- suatu budaya, merefleksikan dan mentransmisikan pola serta praktik yang dapat- maupun tidak dapat- diterima dari seorang individu maupun kelompok. Pengenalan perilaku baru akan membuka kesempatan untuk menguji batas-batas budaya dan menggeser norma-norma organisasi.
  4. Pemahaman harus mendahului perencanaan: Ketika berhadapan dengan data/fakta, individu maupun kelompok sering menggunakan pandangan kausalitas/sebab-akibat, kemudian menentukan solusi tanpa mendefinisikan permasalahannya dengan jernih. Mereka mencari kenyamanan dengan segera melakukan tindakan daripada menavigasi ketidaknyamanan dari sesuatu yang ambigu atau dilematis. Kelompok yang mahir akan memanfaatkan ketidakpastian yang disengaja/disadari sebagai jalan setapak menuju pemahaman sebelum melompat ke dalam proses perencanaan atau tindakan.
  5. Inkuiri, eksperimentasi, serta refleksi mempercepat pertumbuhan dan pembelajaran secara berkelanjutan: Pembelajaran muncul saat kita bergeser dari individu yang terisolasi menjadi anggota komunitas yang kolaboratif, dari teknisi atau tukang yang pasif menjadi peneliti atau penemu yang aktif, dari penelusuran yang sudah pasti menuju pada keingintahuan yang disengaja, Upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan bermakna muncul dari analisis data yang dipikirkan secara mendalam, membingkai masalah secara hati-hati, serta secara berkesinambungan memantau kesenjangan antara kondisi saat ini dan pencapaian tujuan.
  6. Norma dalam dialog berbasis data dapat membangkitkan fokus untuk menjaga kesinambungan peningkatan kualitas pembelajaran peserta didik: Saat dimana orang dewasa, saling bicara, adalah saat yang begitu vital di masa-masa perubahan. Bagaimana antar orang dewasa tersebut berbicara pun tak kalah pentingnya. Pemahaman muncul dari proses inkuiri yang dipikirkan secara mendalam serta proses dialog tentang persoalan penting demi meningkatkan kualitas pembelajaran peserta didik. Maka proses inkuiri tersebut perlu dilakukan dengan berlandaskan data kualitas tinggi yang diambil dari sumber-sumber eksternal maupun internal. Karena data tidak memiliki makna, maka sesungguhnya data tidak langsung menyediakan tindakan yang perlu dilakukan. Makna dan tindakan adalah hasil dari proses pemaknaan/pemahaman kolektif yang lahir dari komitmen bersama untuk meningkatkan kualitas pembelajaran peserta didik.
Sumber:
Bank of I.D.E.A.S. (2019). Eight characteristics of a healthy, vibrant, resilient, and enterprising community and local economy. (20). https://bankofideas.com.au/handouts/
Cooperrider, D. L., & Whitney, D. K. (2005). Appreciative inquiry: A positive revolution in change.
Berrett-Koehler Publishers. Cooperrider. D, D. Whitney, & J. Stavros. (2008). Appreciative inquiry handbook for leaders of change. Berrett-Koehler Publishers.
Kemendikbud. (2020). Rencana strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2020-2024.
Nishizuka, K. (2018). Exploring the Developmental Process and Internal Structure of
Kizuki-Based Volunteer Activities for Sustainable Organizations: A Case Study of HARU.
Journal of Disaster Research, 13(7):1309-1322. 10.20965/jdr.2018.p1309
Noble, T. & H. McGrath. (2016). The PROSPER school pathways for student wellbeing: Policy and practices. SpringerBriefs in well-being and quality of life research. Springer, Australia.
Wellman, B. & L. Lipton. (2004). Data-driven dialogue: A facilitator’s guide to collaborative inquiry. Miravia, LLC.


Related Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar