Rabu, 19 Maret 2014

Catatan Anak Nelayan

Saya adalah perindu Pacitan. Rindu sekali. Benar, Saya lahir di Surabaya, Bapak Saya dari Surabaya dan kini saya pun harus menyambung hidup di Surabaya pula. Bahkan ada rencana untuk menetap di sini. Tapi sebagian darah Saya tertinggal di Pacitan. Daerah yang tak terlalu maju, sinyal HP saja susah, tapi pesonanya sangat membuat hati ini tenang. Terlebih ketika Saya masih menjadi nelayan berangkat ke laut pada sore hari menjelang petang. Setelah  jaring tersebar menunggu ikan-ikan terjerat, menghadap ke hamparan samudera dengan penuh kedamaian. Semilir angin sore mengantar mentari bersembunyi menyelam di
ufuk barat hamparan padang gelombang. Tersulut beberapa batang rokok menemani gigil bibir yang tersapu belaian sang bayu. Ah... jaring tenggelam pertanda penuh ikan. Jaring ditarik, ikan masuk perahu dan pulang. Di tepi laut Mamak setia menjemput dengan riang bersama nasi hangat dan sambal kecap dengan cabai dan bawang mentahnya. Beberapa ikan dibakar, Subhanallah nikmat yang teramat sangat. Sembari melihat hilir-mudik pedagang dan nelayan yang saling tukar uang dengan ikan, kami para nelayan makan seperti konsep pesta lesehan berlantai pasir dan belangitkan langit sungguhan. Kepulan asap dari bara tempat membakar ikan terbang mengirimkan aroma khas pantai hingga sampai saat ini, di sini. []

Related Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar