Saya adalah perindu Pacitan. Rindu sekali. Benar, Saya lahir di
Surabaya, Bapak Saya dari Surabaya dan kini saya pun harus menyambung
hidup di Surabaya pula. Bahkan ada rencana untuk menetap di sini. Tapi
sebagian darah Saya tertinggal di Pacitan. Daerah yang tak terlalu maju,
sinyal HP saja susah, tapi pesonanya sangat membuat hati ini tenang.
Terlebih ketika Saya masih menjadi nelayan berangkat ke laut pada sore
hari menjelang petang. Setelah jaring tersebar menunggu ikan-ikan
terjerat, menghadap ke hamparan samudera dengan penuh kedamaian. Semilir
angin sore mengantar mentari bersembunyi menyelam di
ufuk barat
hamparan padang gelombang. Tersulut beberapa batang rokok menemani gigil
bibir yang tersapu belaian sang bayu. Ah... jaring tenggelam pertanda
penuh ikan. Jaring ditarik, ikan masuk perahu dan pulang. Di tepi laut
Mamak setia menjemput dengan riang bersama nasi hangat dan sambal kecap
dengan cabai dan bawang mentahnya. Beberapa ikan dibakar, Subhanallah
nikmat yang teramat sangat. Sembari melihat hilir-mudik pedagang dan
nelayan yang saling tukar uang dengan ikan, kami para nelayan makan
seperti konsep pesta lesehan berlantai pasir dan belangitkan langit
sungguhan. Kepulan asap dari bara tempat membakar ikan terbang
mengirimkan aroma khas pantai hingga sampai saat ini, di sini. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar