Senin, 19 Januari 2015

Mendeteksi Keberadaan Galau Meter

    Awal kata, saya akan mengungkapkan ekspresi keheranan dulu ya... Cermin, mana cermin? Bagaimana? Keheranan saya sudah terlihat ekspresif apa belum ya? Baik, kalau sudah terbaca mimik keheranan saya, maka kini saatnya saya akan mengungkapkan mengapa saya sampai
seheran itu saat ini. Ini sebenarnya berawal dari sosial media. Lho kok bisa? Begini ceritanya. Entah apa sebabnya, tiba-tiba diakun sosial media saya, saya diundang salah satu teman untuk nge-like sebuah fun page dengan nama "Status Galau". Nah, kan aneh masak iya berkunjung disebuah ruang maya yang berisi macam-macam kegalauan kok harus ajak-ajak? Penasatan juga sich, akhirnya saya intip fun page tersebut. Sesuai dengan namanya,  isinya memang penuh dengan kata-kata yang saya sebut muram, sehingga kalau membacanya dunia ini serasa suram. Entah apa tujuan dari postingan-postingan semacam itu. Mengeluh, curhat, mengikuti tren, atau apa ya? Masak iya galau itu sebuah tren? Mungkin juga iya sich. Buktinya banyak ungkapan-ungkapan yang katanya itu adalah gambaran dari suasana galau. Bahkan sempat saya buka di salah satu web ada yang khusus memposting kata-kata galau paling menyentuh. Manyentuh apanya? Bahkan ada juga yang memasang daftar 50 besar lagu Indonesia paling galau. Wah, rasa heran kedua saya jadi muncul, karena saya menjadi semakin penasaran dengan kata galau ini, sampai ada tingkatan-tingkatan level galau segala.
    Kamus Besar Bahasa Indonesia mengatakan, bahwa "galau" itu  memiliki arti "kacau tidak karuan". Nah, Lho. Kalau saya menangkap arti dari kata galau berdasarkan KBBI tersebut sungguh menggambarkan suasana yang sangat memprihatinkan. Tapi anehnya mengapa kini galau malah menjadi semacam tren? Nah kalau ternyata ada level tingkatan galau, kemudian bagaimana cara mengukurnya? Baiklah mari sama-sama kita kaji. Menurut saya galau sangat berkenaan dengan perasaan atau suasana hati, yang mana suasana hati tersebut tidaklah sesuai dengan yang diharapkan oleh si pemilik hati. Maka karena adanya ketimpangan antara harapan dengan kenyataan yang dihadapi oleh perasaan, maka timbullah sebuah konflik perasaan. Menurut saya konflik itupun bersifat relatif. Baik bentuknya maupun kadarnya. Contohnya begini. Ada dua orang yang sedang mengalami suatu keadaan yang sama. Mereka sama-sama mendapatkan nilai rendah pada nilai matematika. Satu orang akan gusar, murung berhari-hari, atau bahkan bisa ada niatan bunuh diri karena menyikapi masalah tersebut dengan pendek analisa dan menganggap dengan nilai matematikanya yang rendah akan membuat fatal pada kehidupannya. Berbeda lagi dengan satu orang berikutnya yang santai-santai saja meskipun mendapat nilai matematika rendah, karena dia yakin bahwa nilainya yang rendah bisa menjadi pelajaran dan menjadi evaluasi diri sehingga dapat dijadikan cambuk untuk penyemangat dalam belajar.
    Ilustrasi masalah nilai matematika hanyalah contoh kecil dari banyaknya kasus galau yang begitu fenomenal saat ini, khususnya dikalangan remaja. Tentu masih banyak masalah-masalah yang lainnya yang katanya sebagai "Biang Galau". Nah, kemudian kok ada level-level galau itu bagaimana ceritanya? Ya, mungkin di planet ini sudah ada alat pengukur kadar galau pada diri seseorang. Mungkin sebutlah alat tersebut disebut dengan "Galau meter". Tapi berkali-kali saya menelusuri lorong-lorong searching engine tak jua saya temui keseriuasan dari alat tersebut.Terus gimana caranya menentukan level galau yang valid?
   Seperti yang telah saya tulis di atas, bahwa galau adalah menyoal suasana hati. Tentu apapun persoalannya beda hati, beda pula arti. So, setiap orang punya parameter sendiri-sendiri terhadap sebuah persoalan yang itu akan dijadikan alasan untuk galau apa tidak. Komposisi kadar ikhlas, iman dan syukur menurut saya cukup memiliki peran berarti dalam menentukan level kegalauan seseorang. Semakin rendah kadar keikhlasan, keimanan dan syukur pada diri seseorang akan memicu tingginya tingkat kegalauan seseorang. Sedikit-sedikit ngeluh, menggerutu, menghujat keadaan dan macam-macam tindakan yang justru akan membuat keadaan yang dianggap kurang berpihak pada harapan semakin kacau. Jadi saya kira yang bisa menentukan tingkat kegalauan pada diri seseorang adalah dia sendiri. Kita tidak bisa mengatakan seseorang itu sedang galau, sebab dia sedang menghadapi suatu masalah yang menurut kita itu adalah masalah yang cukup serius. Sama halnya dengan saya, yang menganggap lucu kata-kata "yang katanya" galau di sebuah fun page di atas.
   Mari kita tanyakan pada diri kita masing-masing, seberapa sering kah galau melanda kita? Seberapa besar rasa galau kita terhadap suatu masalah? Tak ada yang bisa membaca dan menilai hati seseorang kecuali diri kita sendiri dan Tuhan. Demikian juga dengan galau, tak ada satu orangpun yang akan benar menilai kegalauan seseorang. Mari kita deteksi seberapa parah kegalauan kita. Nah, kalau sudah tahu bentuk kegalauan kita, kemudian mau kita anggap apa dan mau kita apakan rasa galau itu? Kalau galau mau kita anggap tren biar terlihat keren, maka itu bukan galau. Itu adalah salah satu aksesoris gaul. Tapi kalau galau adalah sebuah perasaan yang membuat kita terbebani, maka lebih baik jangan kita umbar. Tidak perlu kegalauan itu dipertontonkan dengan up date status atau pasang stiker atau bikin kaos yang bertuliskan kata-kata galau. Sebab kegalauan bukan untuk dipublikasikan melainkan dicari jalan keluarnya. Ya, keluar dari masalah galau tersebut. Bisa konsultasi dengan orang tua, saudara, teman atau pacar. Paling utama jangan lupa konsultasi habis-habisan sama Tuhan. Oke. Konsultasi, sudah. Ada yang bilang "mencegah itu lebih baik dari pada mengobati". Ya, itu kita berlakukan juga pada penyakit galau. Kita hindari masalah-masalah yang bisa menyebabkan galau. Kalau masih tak bisa menghindar juga, maka wajiblah kita selalu up date aplikasi anti galaunya. Apakah itu? Ya, yang sudah saya sebut di atas. Di antaranya adalah ikhlas, iman dan syukur.
E.A.T., Surabaya, 19 Januari 2015

Related Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar