Selasa, 21 Oktober 2025

Jangan Abaikan, Besi Berkarat Masih Tetap Bisa Tajam

Pada sebuah pemikiran sederhana, mungkin akan sepakat jika ada statement bahwa untuk membuat sebuah pedang atau senjata sejenisnya yang tajam dan ampuh adalah selalu dari bahan pilihan yang bagus. Besi, dengan campuran logam lainnya harus dari yang kualitas paling baik, agar mendapatkan hasil senjata yang paling tajam. Itu adalah pemikiran lazim dari kebanyakan orang. Dengan asumsi, ketika mendapatkan bahan pilihan, maka para empu tentu akan lebih mudah, lebih senang,dan low efort untuk menciptakan senjata terbaik.

Pada suatu waktu, ketika besi yang sama, kualitas yang sama, tak segera diolah oleh empunya. Keterbatasan waktu dan tenaga empu, atau karena belum adanya pesanan, membuat besi-besi tidak

segera diolah. Karena adanya oksidasi yang terjadi, atau faktor lain, maka menyebabkan besi tersebut berkarat atau korosi, menyebabkan permukaan besi hilang atau rusak secara permanen. Nah, apakah besi yang berkarat itu akan dibuang begitu saja? Kan dia sudah rusak? 

Baiklah, saya ingin menganalogikan ini ke bidang profesi saya yaitu di dunia pendidikan. Related atau tidak, mari kita teropong dari perspektif kita masing-masing. Salah satu input di dunia pendidikan adalah sumber daya manusia, yakni murid. Secara harfiah, sudut pandang agama, lahirnya murid sebagai sosok manusia adalah diciptakan dalam bentuk yang paling baik dan sempurna, dengan dimensi rohani (ruh) dan dimensi (tubuh). Manusia lahir juga dengan potensinya masing-masing. Manusia juga lahir dengan kodratnya masing-masing, dengan kondisi lingkungan yang berbeda-beda. 

Keberagaman input murid adalah menjadi salah satu latar belakang dicetuskannya pendekatan pembelajaran berdiferensiasi. Di mana pendekatan pembelajaran ini mengakomodasi kebutuhan unik setiap murid dengan cara menyesuaikan materi,  proses, dan hasil pembelajaran agar sesuai dengan kesiapan, minat,, dan profil belajar mereka. Artinya ibarat kata dalam bahasa jawa, pengelolaan pembelajaran dan murid tidak asal "digebyah uyah", atau menyamaratakan kondisi murid.

Pemikiran keberadaan perbedaan latar belakang murid, kemudian membuat kita mengkasifikasi tiingkatan murid dari beberapa aspek. Mulai dari gaya belajar, latar belakang keluarga, latar belakang sosial, hingga beberapa label, seperti "ini murid yang mudah diajari, ini murid yang susah diajari". Lantas, beberapa perlukuan yang kemungkinan terjadi, antara lain fokus pengembangan pada murid yang mudah diajari, dan mengabaikan murid yang susah diajari. Sementara, kembali pada bahasan di awal tadi, bahwa semua murid murid memiliki potensi dan hak untuk berkembang sesuai dengan kondisi mereka masing-masing.

Lantas, saya coba mengibaratkan murid dengan kondisi besi yang semula memiliki kondisi sama, kemudian karena beberapa faktor, ada besi yang langsung bisa menjadi pedang atau senjata yang tajam, dan ada pula besi yang terabaikan, terpapar air dan oksigen (oksidasi), akhirnya berkarat. Mereka yang berasal dari input murid dengan latar belakang yang bagus, terasa sangat mudah untuk memahami materi-materi yang diajarkan. Lantas, bagaimana dengan murid yang dikategorikan susah diajari? Anak yang  (saya tidak menyebutkannya nakal) butuh perhatian lebih? Apakah dibiarkan saja dan fokus pada murid yang mudah diajari saja?

Beberapa teori memang mengatakan bahwa besi berkarat tidak bisa lagi dijadikan pedang. Ada pula yang mengatakan bahwa besi yang berkarat sebagian masih bisa dijadikan pedang. Dengan tempaan dan keahlian dari pandai besi atau sang empu dalam mengolah besi yang berkarat, masih bisa dijadikan pedang, bahkan ketika sudah menjadi pedang dan diasah dengan konsisten maka pedang dari besi berkarat itu akan menjadi senjata yang ampuh dan tajam.

Menganalogikan besi yang diolah menjadi pedang dengan mendidik  murid yang dari latar belakang heterogen, memang tidak sepenuhnya relevan. Namun, keberadaan murid yang disinyalir susah untuk diajak belajar juga perlu menjadi perhatian. Perlu ditempa. Diasah, dan saya yakin akan tajam. Membiarkan mereka layaknya besi berkarat yang dibiarkan saja dan akhirnya habis karena korosi bukanlah hal yang bijak. Demikian halnya membiarkan anak-anak yang susah untuk belajar tanpa ada perlakuan khusus untuk mendampinginya, juga ibarat menghilangkan mereka dengan sifat abai kita. Mereka juga punya hak untuk berkembang. Mereka juga punya hak untuk maju. Mereka tidak ingin terlahir sebagai anak yang susah untuk belajar. Namun faktor-faktor tertentulah yang membuat mereka demikian. 

Sering kita jumpai pihak-pihak yang bangga karena berhasil mendampingi keberhasilan anak-anak yang dari latar belakang baik. Entah akademiknya, sikapnya, latar belakang keluarganya, hingga latar belakang sosialnya. Namun  abai, bahkan enggan, atau menyerah dengan anak-anak yang perlu perhatian khusus karena kondisi tertentu, misalnya banyak terlibat masalah. Mari kita rangkul mereka. Kita tempa mereka dengan ilmu, kita asah dengan bimbingan yang konsisten. Sebab, mereka masih tetap bisa dan berhak untuk tajam. 


e.a.t

Surabaya, 21 Oktober 2025




Related Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar