Oleh: Eko Agus Triswanto
Menjalani kodratnya sebagai makhluk sosial, tentu ada hal yang
sifatnya mendasar yang dilakukan manusia dalam membuktikan status
tersebut. Salah satunya adalah komunikasi. Dengan komunikasilah, manusia
bisa berinteraksi dengan sesamanya. Komunikasi merupakan sebuah proses
penyampaian pesan atau informasi dari seseorang kepada orang lain.
Sebagaimana sebuah pendapat, bahwa “Komunikasi merupakan setiap proses
pertukaran informasi, gagasan, dan perasaan” (Hybels & Weafer II
dalam Liliweri, 2002:3). Jika
ditelaah lebih dalam, dalam ilmu
komunikasi sendiri terdapat konsep-konsep dasar dan prinsip-prinsip
mengenai komunikasi itu sendiri. Tapi pada kesempatan ini, kita tidak
akan membahas terkait dengan hal tersebut. Rasanya itu akan kita ulas
dengan bobot yang lebih berat pada lain kesempatan.
Dewasa ini, dalam berkomunikasi, manusia benar-benar menjadi subjek yang
dimanjakan. Karena teknologi sebagai media dalam berkomunikasi baik
satu arah maupun dua arah kini telah berkembang pesat. Oleh sebab itu,
maka kenyamanan dalam berkomunikasi tentunya juga harus bisa ditunjang.
Akan tetapi kenyamanan dalam komunikasi tentu tidak hanya ditentukan
oleh media saja, melainkan perilaku dari pelaku komunikasi tersebut.
Dalam hal ini biasa disebut dengan komunikan dan komunikator. Nah, pada
kesempatan kali ini, saya tergelitik untuk mengulas masalah perilaku
komunikasi ini.
Banyak orang yang telah menginspirasi
saya untuk menulis perihal komunikasi ini. Mungkin salah satu orang
yang menginspirasi saya, adalah saya sendiri. Dalam berkomunikasi,
sungguh perihal masalah etika, adab dan perasaan benar-benar wajib
dimainkan. Setelah dimainkan, maka dinamika komunikasi akan tercipta.
Sungguh, bahwa komunikasi yang dinamis itu akan lebih efektif dan lebih
berwarna serta akan menghasilkan solusi yang lebih jika dibandingkan
dengan komunikasi yang statis. Akan tetapi atas kemunculan sebuah
dinamika komunikasi, tidak sedikit dari pelaku komunikasi yang tidak
mendapatkan informasi maupun solusi. Bahkan konflik yang berlarutpun
bisa muncul di sini. Apa penyebab akan hal tersebut? Seharusnya
bagaimana?
Informasi akan diterima dengan baik jika
disampaikan dengan baik pula oleh komunikator kepada komunikan. Demikian
juga sebaliknya, informasi akan memiliki arti atau makna sesuai apa
yang diterjemahkan oleh penerima informasi atau komunikan. Informasi
yang baik, yang disampaikan dengan baik pula, belum tentu menjadi hal
yang baik jika yang menerima informasi tersenbut beda dalam
menerjemahkannya. Apa penyebab dari kesalahan dalam penerjemahan
tersebut? Banyak faktor yang menyebabkan itu. Salah satunya adalah
terkait dengan pandangan komunikan terhadap komunikator. Kalau faktor
ini sudah berpengaruh dalam komunikasi, maka apapun informasinya bisa
jadi semua beda terjemahannya. Semisal, seseorang akan menyampaikan
informasi kepada orang lain yang sebelumnya telah terjadi konflik di
antara keduanya, maka cara penyampaiaanya akan lebih sulit jika
dibandingkan dengan penyampaian informasi antar orang yang punya ikatan
batin positif. Ini adalah sifat manusiawi dari masing-masing pelaku
komunikasi dengan rasa ego yang melekat pada dirinya. Ya, sebab setiap
manusia diberkahi dengan rasa ego dengan kadar yang berbeda-beda.
Jika kita mau mencoba mencatat, atau sekedar mengingat berapa kali kita
melakukan komunikasi dalam satu hari saja? Baik itu komunikasi secara
langsung, tidak langsung, satu arah maupun dua arah. Dari setiap
komunikasi adakah suasana atau kondisi komunikasi yang sama? Jelas
tidak. Masing-masing memiliki suasana dan rasa yang berbeda-beda.
Masing-masing memiliki kondisi dan pengondisian yang berbeda-beda pula.
Ya, pengondisian itu sendiri yang akan menentukan output atau hasil dari
komunikasi itu sendiri. Pengondisian tentang bagaimana kita menyikapi
lawan komunikasi. Mulai dari perasaannya saat itu, kondisi emosinya,
hingga latar belakang lingkungan lawan komunikasi. Tentunya meskipun
dengan kemampuan kita dalam memahami lawan komunikasi, belum tentu serta
merta lawan komunikasi kita bisa melakukan hal yang sama seperti yang
kita lakukan. Nah, kalau sudah seperti ini maka level pemahaman dan
kesabaran pada diri kita perlu kita tingkatkan.
Saat ini saya
sedang menganalogikan komunikasi layaknya aliran darah pada diri kita.
Kalau aliran darah itu lancar, tentu kesehatan dan kenyamanan bisa kita
rasakan. Tapi kalau tidak lancar bagaimana? Misal kaki kita yang terlalu
lama kita tekuk ketika duduk, aliran darah tidak lancar, maka kesemutan
melanda. Kalau sudah kesemutan kena sentuh sedikit saja rasanya sangat
tidak nyaman. Hal yang mudah kita lakukan untuk menghilangkan rasa tidak
nyaman saat kesemutan tersebut adalah dengan membuat aliran darah pada
bagian yang kesemutan tersebut agar lancar. Salah satunya jika terjadi
pada kaki, maka kita meluruskan kaki kita yang semula kita tekuk, atau
merubah posisi kaki saat duduk. Demikian halnya juga dengan komunikasi,
agar efektif dan diperoleh hasil yang positif maka perlu adanya
pelurusan-pelurusan dengan saling memahami antara komunikan dan
komunikator. Meskipun hal itu tentu membutuhkan waktu yang tidak
sebentar dalam melakukannya. Sebab komunikasi yang baik itu tidak harus
mendapatkan output dalam waktu yang singkat. Dan dalam rentang waktu
ternjadinya komunikasi tersebut tentu kita bisa memetik pelajaran di
sana.
E.A.T., Surabaya, 9 Januari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar